DMITV.id, ROMA – Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, H Muhammad Jusuf Kalla menyatakan, peradaban manusia akan runtuh oleh konflik dan perang yang merendahkan nilai kehidupan manusia. Oleh karena itu, peradaban manusia hanya dapat dibangun dalam kondisi damai.
Demikian dikatakan, Jusuf Kalla pada Pertemuan Internasional untuk Perdamaian Dunia (International Meeting for Peace) di Roma, Senin (27/10). Acara ini diselenggarakan oleh Komunitas Sant’Egidio (La Comunità di Sant’ Egidio), Roma, Italia pada Minggu 26 hingga Selasa 28 Oktober 2025.
Jusuf Kalla menegaskan, konflik selalu bertentangan dengan peradaban manusia, karena perang selalu merendahkan nilai kehidupan manusia. Padahal, kehidupan manusia adalah unsur utama dari martabat manusia — dan martabat manusia adalah tujuan tertinggi dari peradaban.
“Kita memiliki sebuah pepatah: Dalam keadaan damai, anak-anak menguburkan ayah mereka karena sebab-sebab alami. Dalam perang atau konflik, ayah menguburkan anak-anaknya karena sebab-sebab buatan manusia.Hanya perdamaian, bukan perang, yang dapat menunjukkan keindahan masa depan,” ungkapnya.

JK menjelaskan, akar penyebab perang beragam dan berubah seiring waktu. Namun para ahli menemukan ada tiga penyebab utama, yang dikenal sebagai 3 G: God, Glory, dan Gold. God (Tuhan) berkaitan dengan agama, keyakinan, dan ideologi. Glory (Kemuliaan) berhubungan dengan perasaan superioritas dan supremasi. Gold (Emas) menunjuk pada alasan ekonomi: keserakahan, monopoli, dan kepemilikan.
Apa pun motifnya, perang selalu mengorbankan nyawa manusia. Perang selalu membelah masyarakat menjadi “Kami” dan “Mereka.” Selalu ada garis pemisah yang tidak dapat didamaikan, yang menghalangi harmoni kehidupan. Manusia saling curiga. Mereka berkomunikasi dalam diam karena tidak dapat mempercayai siapa pun. Masyarakat hidup dalam suasana saling mencurigai.
Pada 24 Februari 2022, dunia terkejut. Rusia menyerang Ukraina. Dengan menginvasi, menduduki, dan mencaplok sebagian wilayah negara berdaulat lain, Rusia membuat dunia lebih waspada terhadapnya. Negara ini benar-benar menunjukkan bahwa mereka ingin dipertimbangkan kembali sebagai negara adidaya — supremasi yang hilang setelah runtuhnya komunisme. Seingat saya, serangan ini adalah yang pertama terjadi di Eropa sejak Perang Dunia II.
Hingga kini, perang antara kedua negara masih berlanjut, terlepas dari berapa banyak nyawa yang telah hilang. Pada awalnya, NATO membentuk koalisi militer yang solid di antara para anggotanya untuk membantu Ukraina. Dunia dibayangi oleh potensi perang besar antar negara kuat di Eropa. Tak seorang pun dapat memprediksi kapan perang akan berakhir. Ini adalah perang antar negara.
Pada 7 Oktober 2023, kekerasan kembali pecah di Timur Tengah. Hari itu, kelompok Hamas mempermalukan militer Israel dengan menyerang secara tiba-tiba. Israel tidak siap menghadapi serangan itu, sehingga supremasi militernya tampak lumpuh. Sebagai balasan, Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza.
“Gaza berubah menjadi ladang pembantaian, tempat nyawa manusia kehilangan martabat,” ucap JK.
Dikatakan, pasukan militer Israel membunuh secara sewenang-wenang dan membabi buta penduduk sipil. Sebagian warga meninggal karena kekurangan makanan dan obat-obatan akibat blokade Israel terhadap bantuan kemanusiaan dari luar.
Di sisi lain, Iran ikut terlibat dengan menyerang Israel. Sebagai tanggapan, Amerika Serikat menyerang Iran untuk melumpuhkan kemampuan nuklirnya. Dalam beberapa minggu, Israel melancarkan serangan ke Qatar untuk menargetkan para pemimpin Hamas yang berkantor di Doha. Seluruh dunia mengecam Israel. Negara-negara Arab bersatu dan bersiap menghadapi Israel. Bahkan Mesir mengusulkan pembentukan aliansi militer untuk melawan Israel.
“Timur Tengah menjadi kawasan bertegangan tinggi, penuh kecemasan dan ketidakpastian. Kecaman terhadap Israel tidak menghentikan pembantaian dan genosida di Gaza. Setiap bangsa beradab berduka atas tragedi kemanusiaan ini,” kata JK.
Belakangan, Amerika Serikat mengambil inisiatif menekan Israel dan memberi ultimatum kepada Hamas untuk bernegosiasi demi gencatan senjata. Langkah itu berhasil. Kini, Presiden Trump telah membuka jalan menuju penyelesaian perang antara Rusia dan Ukraina kemungkinan besar akan berhasil.
“Sejak awal konflik, saya selalu menyuarakan dengan lantang dan jelas: Hanya Presiden Trump, Netanyahu, dan para pemimpin Hamas yang dapat menghentikan perang dan menyelamatkan nyawa di Gaza. Tidak ada yang lain.” tegasnya.
Faktanya, jika Amerika Serikat tidak mau menghentikan perang, maka perang akan terus berlanjut. Jika Amerika Serikat tidak mau menyelamatkan nyawa manusia di Gaza, maka rakyat akan terus mati.Saya benar: gencatan senjata bisa dicapai karena Presiden Trump memiliki tekad untuk mewujudkannya.
Kini, Presiden Trump telah membuka jalan menuju penyelesaian perang antara Israel dan Hamas, serta Rusia dan Ukraina — kemungkinan besar akan berhasil.
JK juga mengemukakan beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari dua konflik tersebut, antara lain; pertama, kita masih hidup di dunia yang belum bebas dari perang dan konflik. Setiap perang selalu mengorbankan mereka yang paling rentan: perempuan, anak-anak, dan orang tua, serta menghancurkan fasilitas publik. Ekonomi lumpuh, kohesi sosial terancam, persatuan masyarakat hilang, dan kehidupan dipenuhi ketidakpastian serta kecemasan.
Setiap perang, sekecil apapun, berpotensi meningkat dan melibatkan banyak pihak. Dengan demikian, planet kita tidak pernah benar-benar tenang. Dunia selalu berada di tepi bahaya.
Kedua, kita menghadapi tren baru dalam peperangan modern. Perang besar kini tidak hanya terjadi antarnegara, tetapi juga antara negara dan aktor non-negara, seperti Hamas melawan Israel. Namun bentuk perang baru ini dengan mudah dapat berkembang menjadi konflik antarnegara.
Ketiga, senjata berteknologi tinggi kini mudah dimiliki dan dibeli dengan harga murah di pasar terbuka oleh kelompok non-negara. Hal ini jelas mengancam keamanan dan perdamaian global. Negara-negara baru dengan kemampuan berinovasi dan menciptakan senjata menjadi aktor baru dalam hubungan internasional. Kepemilikan senjata kini tidak lagi terbatas pada negara besar — banyak pemain baru muncul. Semakin beragam kepemilikan senjata, semakin besar pula peluang pecahnya perang.
Keterlibatan aktor non-negara dalam perang bahkan bisa lebih berbahaya daripada perang antarnegara, karena mereka merekrut anggota dari seluruh dunia.Hal ini membuka peluang lebih luas bagi banyak negara untuk terseret dalam satu konflik.
Lebih jauh lagi, tantangan terbesar saat ini adalah keterlibatan aktor non-negara dalam peperangan.Mereka membawa ideologi tunggal: utopia yang menumbuhkan intoleransi. Aktor-aktor intoleran ini datang dari berbagai belahan dunia, menyatakan perang terhadap negara, terhadap rakyat biasa, terhadap umat manusia.Ideologi utopia ini menjadi tantangan terbesar bagi kehidupan dan peradaban manusia hari ini.
Keempat, keamanan dan perdamaian di Timur Tengah sangat ditentukan oleh Amerika Serikat. Semua bergantung pada kebijakan luar negeri presiden negara itu. Amerika Serikat tampak sebagai pemain kunci yang bisa menciptakan perdamaian — atau menyalakan api perang — di Timur Tengah.
Kita semua tahu bahwa konflik paling rumit di dunia adalah konflik Israel–Palestina. Ia melibatkan isu agama (Islam vs Yudaisme), ras (Arab vs Yahudi), perebutan wilayah, sejarah, dan banyak hal lain. Perang ini memiliki banyak motif, sehingga mudah melibatkan banyak negara dan aktor non-negara. Faktanya, Israel saat ini berperang melawan Hamas, Hezbollah, dan Houthi — semuanya aktor non-negara.
Kelima, solusi bagi konflik Israel–Palestina hanya ada satu: solusi dua negara (two-state solution). Masing-masing pihak harus saling mengakui keberadaan yang lain. Namun apapun jalannya, perdamaian harus dimulai dengan rekonsiliasi antara Hamas dan Al Fatah. Tanpa rekonsiliasi dua kelompok besar ini, jalan menuju perdamaian tidak akan pernah terbuka.
“Tahun lalu, saya sempat mendekati tahap ini, tetapi Israel membunuh Ismail Haniyeh.
Saya telah bertemu dengannya, dan ia meminta saya untuk menengahi organisasinya dengan Al Fatah.” ungkapnya.
JK juga menceritakan bahwa dirinya berkali-kali menegaskan bahwa sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia tidak pernah mengubah posisinya. Jika Israel mengakui Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat, maka Indonesia akan segera mengakui Israel sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Keenam, sebagaimana pengalaman Indonesia beberapa tahun lalu, kita pernah mengalami dua konflik horizontal di dua provinsi berbeda: Muslim melawan Kristen. Pertikaian itu berdarah dan mematikan. Kita belajar bahwa konflik agama adalah salah satu yang paling sulit diselesaikan.
Setiap pihak mengklaim berjuang demi keadilan dan membela keyakinannya. Mereka percaya bahwa membunuh lawan akan membawa mereka ke surga.
Saya berdiri sendirian, mewakili negara, dan menyatakan dengan tegas:“Tidak satu pun dari kalian akan masuk surga. Kalian semua akan masuk neraka karena tidak ada agama yang membenarkan pembunuhan terhadap sesama manusia,” ujarnya.