YOGYAKARTA, DMITV.id – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdīd Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Budi Jaya Putra, menyampaikan ceramah dengan materi menarik di Masjid KH Sudja Yogyakarta pada Senin malam (01/09).
Dengan tema “Mencintai Nabi Muhammad SAW Melebihi Diri Sendiri,” ceramah ini mengajak jamaah merenungi makna cinta sejati kepada Rasulullah SAW sebagai bukti keimanan seorang Muslim.
Dalam pengantarnya, Budi menegaskan bahwa mencintai Nabi Muhammad SAW lebih daripada diri sendiri, keluarga, dan harta benda merupakan perintah langsung dari Allah SWT, sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an, surah al-Tawbah ayat 24.
Ayat ini memperingatkan umat Islam agar menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan jihād di jalan Allah sebagai prioritas utama di atas cinta duniawi.
“Jika cinta kepada keluarga, harta, atau hal lain melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah mengancam dengan keputusan-Nya. Orang-orang seperti itu disebut sebagai fāsiq,” jelas Budi.
Ia lalu menjelaskan perbedaan antara fāsiq, kāfir, dan munāfiq dengan lugas. Fāsiq adalah Muslim yang mengetahui syariat tetapi tidak melaksanakannya. Kāfir adalah mereka yang menolak kebenaran Islam.
“Kāfir sebenarnya bukan hinaan, melainkan istilah bagi orang yang konsisten dengan keyakinannya di luar Islam,” tambahnya, seraya mengingatkan jamaah agar memahami istilah-istilah tersebut secara bijak untuk menghindari salah paham.
Budi juga mengutip hadis riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Anas bin Mālik, yang menyatakan bahwa iman seseorang belum sempurna hingga ia mencintai Rasulullah SAW lebih daripada orang tua, anak, dan seluruh manusia.
Ia menceritakan kisah ‘Umar bin al-Khaṭṭāb yang awalnya mengaku lebih mencintai dirinya sendiri ketimbang Nabi. Namun setelah ditegur Rasulullah, ‘Umar menyatakan cintanya yang lebih besar kepada Nabi, sehingga imannya dinyatakan sempurna.
“Ini menunjukkan bahwa cinta kepada Nabi bukan sekadar perasaan, melainkan aplikasi nyata dalam kehidupan,” tegasnya.
Contoh aplikatif dari cinta ini, lanjut Budi, adalah ketaatan penuh kepada perintah dan sunnah Nabi. Ia mengutip penjelasan Imām al-Nawawī dalam Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim bahwa mencintai Rasulullah berarti mendahulukan perintah dan sunnahnya di atas hawa nafsu.
Sebagai contoh, Budi menyebutkan larangan Nabi untuk makan dan minum sambil berdiri. Meskipun terdapat riwayat bahwa Nabi pernah melakukannya dalam kondisi tertentu, seperti ketika minum air Zamzam, larangan tersebut tetap harus diutamakan.
“Kalau kita berada di acara standing party dan tidak ada tempat duduk, carilah tempat untuk duduk atau lesehan. Itu wujud cinta kepada Nabi,” ujarnya dengan nada jenaka, disambut tawa jamaah.
Budi juga menyoroti pentingnya mempelajari sīrah nabawiyyah untuk memahami akhlak dan mu‘āmalah Nabi. Ia menceritakan kisah Abū Bakr yang rela menyuapi seorang pengemis Yahudi yang kerap mencaci maki Nabi, hanya karena ingin meneladani perbuatan Rasulullah.
“Bayangkan, Nabi menyantuni orang yang menghinanya tanpa pernah mengungkapkan identitas beliau. Ini adalah teladan akhlak mulia yang harus kita ikuti,” ungkapnya, membuat jamaah tertegun.
Budi menekankan bahwa cinta kepada Nabi harus dibuktikan dengan menuntut ilmu agama, memahami mana yang wajib, sunnah, dan terlarang, serta menjadikan Rasulullah sebagai teladan utama dalam ibadah, akhlak, dan mu‘āmalah.
Sebelum menutup ceramah menjelang waktu Magrib, Budi kembali mengingatkan bahwa mencintai Nabi bukan sekadar perasaan, melainkan tindakan nyata: meneladani sunnah, membela kehormatan Nabi, dan menghindari perbuatan yang bertentangan dengan ajarannya.
“Orang yang mencintai Nabi akan dikumpulkan bersamanya di surga. Mari kita wujudkan cinta itu dengan ilmu dan amal,” tutupnya. (Sumber: Muhammadiyah.or.id)